The Art of Misunderstanding
| 6 April 2018 |BANYAK hal memukau dari Milton Erickson yang bisa anda pelajari dan anda tiru melalui contoh-contoh kasus yang pernah ia tangani. Dan saya kira penting bagi anda untuk mengkaji bagaimana Erickson melakukan apa saja yang telah ia lakukan untuk menghadirkan keajaiban terapetik. Ia sungguh licin dalam menghadapi pasien-pasiennya. Memahami bagaimana cara Erickson bekerja tentunya akan menambah wawasan anda. (Baca: Bagaimana Erickson Membawakan Sugestinya)
Ia banyak akal dan dengan itu ia bisa mengajarkan kepada klien-kliennya bagaimana cara mengatasi situasi yang menekan dan membalikkan keadaan. Salah satu teknik yang ia ajarkan adalah kecakapan untuk—secara sengaja—melakukan kesalahpahaman (the art of misunderstanding). Hal ini ia sampaikan dalam percakapan di tahun 1957 dengan Jay Haley, seorang hipnotis yang ketika itu melakukan penelitian psikoterapi dan sekaligus ingin banyak belajar dari Erickson tentang bagaimana ia menangani pasien-pasiennya.
Salah satu diskusi mereka adalah tentang seorang istri yang mengembangkan simptom “kehilangan suara” ketika hubungannya dengan suami ia rasakan sangat menekan. Riwayat singkat hubungan suami-istri itu sebagai berikut:
Setiap kali perempuan itu berdebat dengan suaminya, si suami selalu akan meninggalkan ruangan di tengah-tengah perdebatan, kembali lagi beberapa waktu kemudian, dan berbicara seolah-olah tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Hal ini menyebabkan perempuan itu merasa bahwa apa pun yang dikatakannya, itu semua tak akan bisa mengubah keadaan. Suaminya akan selalu begitu dan lelaki itu memenangi pertempuran dengan cara seperti itu, sementara perempuan itu hanya bisa menyimpan kedongkolan karena merasa semua ucapannya sia-sia. Maka, jelas di sini bahwa tujuan bawah sadar dari simptom “kehilangan suara” yang dikembangkan oleh perempuan itu adalah untuk mengalahkan suaminya dengan cara yang tidak bisa diprotes atau dilawan oleh suaminya.
“Ini salah satu kasus yang kutangani dan aku ingin tahu bagaimana sekiranya kau yang harus menanganinya,” kata Jay Haley.
“Aku akan memberitahu perempuan itu bagaimana caranya bertindak tolol,” kata Erickson, “yakni dengan menyampaikan hal-hal yang tidak tepat. Dengan kata lain, aku akan mengajarkannya the art of misunderstanding.”
“Oya? The art of misunderstanding?”
“Contohnya begini, aku sedang berjalan tergesa-gesa di lorong kampus menuju ruang kelas dan menabrak seseorang di lorong itu. Orang itu mengatakan, ‘Brengsek! Jalan pecicilan nggak pakai mata!’ dan aku berhenti sebentar, melihat arlojiku, dan mengatakan, ‘Jam dua seperempat.’ Setelah itu terus melanjutkan jalan. Apa yang bisa dilakukan orang itu? Ia hanya bisa berdiri melongo, tak bisa lagi memaki. Kurasa ia benar-benar tak bisa apa-apa saat itu.”
Tentang perempuan yang mengidap simptom “kehilangan suara”, Erickson mengatakan bahwa ia akan mengajari perempuan itu bagaimana memenangi pertempuran dengan cara yang lebih sehat dan tidak harus kehilangan suara. Dan itu bisa dilakukan dengan meminta perempuan itu memperhatikan setiap isyarat kecil yang biasa diperlihatkan oleh suaminya beberapa saat menjelang ia meninggalkan ruangan. Dengan memperhatikan isyarat-isyarat kecil itu, ia bisa mengatakan, “Sekarang giliranku yang keluar ruangan,” dan segera meninggalkan suaminya sendirian sebelum lelaki itu sempat menjalankan kebiasaannya. Dengan demikian, perempuan itulah yang memegang kendali untuk memotong perdebatan. Dan ia juga menentukan kapan mengakhiri perdebatan itu.
“Kau mengajarinya cara memenangi pertarungan?”
“Cara mengelola hubungan. Dan dari sana mereka akan melakukan penyesuaian. Ketika kau memberi tahu seorang istri bagaimana cara menangani suaminya, pada dasarnya kau sedang menunjukkan kepada perempuan itu bagaimana mengubah hubungan yang mengecewakan, di mana ia merasa direndahkan, menjadi hubungan yang lebih setara di mana ia bisa mengendalikan suaminya.
“Singkatnya begini, misalkan ada seorang perempuan datang mengeluh bahwa setiap kali ia ribut dengan suaminya mengenai satu masalah, si suami hanya mendengarkan, kemudian keluar dan mengisap rokoknya di halaman. Lelaki itu akan kembali setelah selesai merokok dan bertindak seolah-olah tidak ada masalah. Untuk kasus semacam itu, kepada perempuan tersebut aku bisa mengatakan, ‘Bukankah kau merawat bunga-bunga di pekarangan depan?’ Lalu aku akan memintanya memperhatikan suaminya baik-baik, memperhatikan kebiasaan yang berkembang dalam situasi seperti itu. Ketika suaminya mulai mengeluarkan rokok, perempuan itu tahu bahwa suaminya sebentar lagi akan keluar ke halaman. Pada saat itu, sebelum suaminya keluar, ia bisa mengatakan bahwa sekarang gilirannya untuk keluar. Ia mencintai bunga-bunga dan menikmati bunga-bungamu, dan saat itu ia bisa keluar untuk memetik bunga-bunga yang ia cintai. Setelah itu ia bisa kembali ke ruangan dan melakukan hal yang lebih baik dibandingkan apa yang biasa dilakukan oleh suaminya.”
“Dan apa cara yang lebih baik itu?”
“Aku menyarankan perempuan itu keluar menikmati bunga-bunga. Mereka, bunga-bunga di halaman itu, adalah bagian dari dirinya. Ia yang menanam, merawat, dan menumbuhkan mereka. Ia bisa benar-benar menikmati bunga-bunga itu dan memetik beberapa kuntum.”
Maka, anda tahu, dalam kasus di atas Erickson menjalankan terapinya dengan strategi yang akan membuat perempuan itu tidak sekadar bisa membalas perlakuan suaminya demi menyamakan skor. Melalui pendekatan tak-langsung yang ia terapkan, Erickson justru menggeser isunya bukan lagi pada pertarungan suami-istri yang sejauh ini menyebabkan perempuan itu mengembangkan simptomnya, tetapi bagaimana kliennya bisa menikmati bunga-bunga yang ia rawat dengan penuh kesungguhan. Dalam hal ini keberhasilan perempuan itu membuat suaminya bertekuk lutut hanya ia tempatkan sebagai hasil sampingan dari situasi keseluruhan. Dan situasi keseluruhan itu adalah si perempuan keluar untuk menikmati bunga-bunga, menikmati apa yang ia cintai, menikmati kehidupannya. Dan selanjutnya ia bisa kembali ke ruangan dengan beberapa kuntum bunga di tangan dan menempatkan bunga-bunga itu dalam vas, dan itu sebuah tindakan yang bisa memberikan kepuasan total kepadanya.
Ini cara yang berbeda sekali dibandingkan apa yang biasa dilakukan oleh suaminya. Lelaki itu membuat istrinya terpuruk dalam perdebatan dengan keluar ruangan, yang memberi kesan bahwa ia tak peduli pada apa pun yang diucapkan oleh istrinya, dan masuk lagi dengan mulut tetap terkunci untuk mengakhiri perdebatan. Sementara itu sang istri membuat suaminya tak berdaya dengan keluar ruangan. Lalu ia kembali lagi dengan bunga-bunga yang kemudian ia rangkai di dalam vas. Ini sungguh cara kembali yang berbeda. Dan itu membuat suaminya lebih terpuruk lagi. Istrinya tak sekadar masuk lagi untuk mengakhir perdebatan, tetapi ia kembali ke ruangan dan memperindah ruangan mereka dengan bunga-bunga kesukaannya.
Dengan cara ini, Erickson mengajarkan kepada kliennya bagaimana cara membalik keadaan dalam langkah yang positif. Dengan cara ini pula ia membereskan simptom yang diidap oleh pasiennya. Prinsipnya, jika perempuan itu tahu cara yang lebih sehat dalam menangani suaminya, ia sama sekali tidak memerlukan simptom “kehilangan suara” yang jelas mengandung keputusasaan di dalamnya. Tidak hanya keputusasaan dalam hubungannya dengan suami, tetapi keputusasaan dalam seluruh wilayah kehidupan.***
A.S. Laksana
Penulis
Pola Sugesti dan Strategi Terapi Milton Erickson
The Art of Ericksonian Hypnosis
Bacaan terkait: Struktur Terapi