Si Tukang Manipulasi
| A.S. Laksana |Seorang pemuda menelepon pada hari Kamis ketika saya sedang tidak ingin menerima tamu. Hari itu saya menyiapkan kolom untuk Jawa Pos, pekerjaan rutin tiap pekan. Biasanya saya menulis kolom itu hari Jumat, tetapi saya harus maju karena ada acara pelatihan di Samarinda. “Saya mau ke rumah anda,” katanya. “Saya mau beli ebook Ericksonian, tetapi saya mau datang langsung saja ke rumah anda.”
“Saya tidak bisa hari ini,” jawab saya.
“Ini saya sudah di depan anda,” katanya.
Ia menelepon di depan rumah saya, berdiri di samping pengendara motor yang mengantarkannya. Rupanya ia diantar tukang ojek. Saya sendiri sedang bekerja di teras rumah ketika menjawab teleponnya. Apa boleh buat. Saya mempersilakan masuk tamu yang sudah di depan rumah.
“Saya sebenarnya sudah ikut pelatihan hipnosis,” katanya ketika ia sudah duduk di kursi depan saya. “Apakah saya masih perlu beli ebook anda?”
“Kau sebenarnya sudah ikut pelatihan hipnosis dan kau menanyakan apakah masih perlu beli ebook saya. Dan apa yang kaulakukan dengan hipnosis?”
“Saya juga sudah menerapi orang,” katanya.
“Kau sudah menerapi orang. Maksudmu, kauapakan orang itu ketika kau menerapi orang?”
“Saya hipnotis dia, Pak,” jawabnya.
“Kauhipnotis dia. Kauapakan lagi?”
“Saya beri sugesti, Pak.”
“Sekarang kausugesti aku agar berhenti merokok. Bagaimana sugestimu?”
“Mulai sekarang dan seterusnya, setiap kali anda mengisap rokok yang anda nyalakan, asap rokok terasa pahit di mulut anda dan perut anda mual.”
“Kau menipu aku. Aku sudah bertahun-tahun merokok dan asap rokok tidak pahit dan perutku baik-baik saja.”
“Kan rasa bisa dimanipulasi, Pak?”
“Kulaporkan kau ke polisi kalau begitu.”
Dia tertawa.
"Tapi kan rasa bisa dimanipulasi, Pak?"
"Berapa lama?"
"Iya sih, Pak. Saya pernah mensugesti teman saya untuk berhenti merokok. Hari itu ia berhenti, tapi besoknya ia saya lihat merokok lagi."
“Sekarang, ulangi lagi dari awal. Kau menghipnotis dia. Dan dia terhipnotis?”
“Ya, dia terhipnotis.”
“Kautahu dia terhipnotis?”
“Tahu, Pak. Dia tidur.”
“Dia tidur. Dan menurutmu dia terhipnotis. Kau bisa membedakan apakah kau sedang tidur biasa atau kau sedang tidur hipnotik? Kau bisa menunjukkan bagaimana kau memasuki tidur hipnotik menurut pengalamanmu?”
“Bisa, Pak.”
Dia mengatur duduknya, meletakkan kedua tanganya di paha, memejamkan matanya. Saya kembali menulis. “Sekarang kau menikmati waktumu, dan aku melanjutkan pekerjaanku. Tapi kautahu aku di sebelahmu, menunggumu, menunggu isyaratmu. Nanti kalau sudah lelap sekali tidurmu, beri tahu aku. Kau bisa menganggukkan kepalamu pelan-pelan saja saat kau memasuki trance, atau menggeleng-gelengkan kepalamu jika kau belum memasuki trance. Oke, kau menunggu, aku juga menunggu munculnya isyarat itu.
“Sambil menunggu, kau bisa pergi ke tempat yang kausukai di masa kecilmu... pada umur enam.... Kau bisa bermain-main di sebuah tempat lapang, lapangan yang besar sekali bagi anak kecil umur enam. Dan itu hanya pekarangan kecil di mata orang dewasa. Tetapi mata anak umur enam berbeda dari mata orang dewasa....
“Dan mungkin itu sore hari, matahari hangat, kau melakukan sesuatu yang sudah kaulupakan, menikmati rumput di telapak kakimu, menikmati waktumu sebagai kanak-kanak.... menikmati lagi kegembiraanmu, ketika kau tak memikirkan apa pun, tak mendengar panggilan ketika kau asyik bermain.... Sebab kau menikmati waktumu, menikmati situasimu, menikmati pengalaman menarik yang orang lain tidak tahu. Itu hanya milikmu....”
Beberapa saat kemudian ia memberikan isyarat anggukan kepala pelan-pelan, dan terus-menerus. Lalu saya menyampaikan kepadanya agar bangun bagian kepala saja. Ia bangun mengerjap-ngerjapkan mata. Dan kemudian bertanya, “Jadi saya ini bagaimana, Pak?”
“Menurutmu kau bagaimana? Kau merasa lebih enak?”
“Ya, enak sekali. Tapi pulangnya nanti bagaimana, tubuh saya masih tidur.”
“Kau tidak tahu caranya karena kau baru mengalami kejadian seperti ini sekarang, tapi aku tahu caranya. Untuk bisa bangun, kau harus tidur lagi... lebih lelap dari sebelumnya. Sekarang tidurlah.”
Matanya kembali terpejam, dengan gerakan malas.
“Ya, begitu. Lebih lelap dari sebelumnya. Nikmati tidurmu secukupnya. Dan ketika kau bangun nanti, segera selesaikan urusanmu. Kaubilang kau datang untuk membeli ebook, segera selesaikan urusanmu dan pulanglah dengan perasaan senang. Aku akan melanjutkan urusanku. Tukang ojekmu menunggu.”
Saya melanjutkan menulis. Beberapa waktu kemudian, ia bangun, mulet-mulet sebentar.
“Kau naik ojek ke sini?” tanya saya.
Ia masih mengerjap-ngerjapkan mata. Setelah sepenuhnya sadar. Ia mengambil dompetnya, membayar ebook yang ia beli, dan segera pamit.
“Tidak bisa lama-lama, Pak. Kasihan tukang ojeknya nunggu.”
jiakakakaka......... jadi teringat kembali perasaaan ketika mas laks menceritakan ini di bandara sepinggan balikpapan.
ReplyDeleteSmart Hipnosis
ReplyDeleteJOIN NOW !!!
ReplyDeleteDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.cc