Teknik Induksi Baku Milton Erickson
| A.S. Laksana |Jadi apa sesungguhnya “teknik baku” Erickson dalam melakukan induksi hipnotik?
Sejak awal ketertarikannya pada hipnosis, Erickson memiliki kecenderungan untuk memberikan apresiasi yang tinggi pada individualitas subjek. Bagaimanapun, setiap orang hadir dengan keunikannya masing-masing. “Sama dengan keunikan sidik jari, setiap orang datang sebagai individu yang berbeda,” katanya.
Dengan pandangan seperti itu, ia beranggapan bahwa upaya untuk menetapkan teknik baku dalam hipnosis adalah sesuatu yang bisa dibilang tidak akan pernah berhasil. “Upaya untuk mencari pendekatan baku inilah yang membawa orang pada keputusan absurd untuk merekam skrip dan memproduksinya secara massal,” katanya, “seolah-olah skrip yang sama bisa menghasilkan respons yang sama dan pengaruh yang sama pada setiap orang yang mendengarnya.”
Pandangan seperti ini tumbuh sejak mula ia tertarik pada hipnosis, yakni ketika ia mahasiswa, di bawah supervisi Clark L. Hull, seorang hipnotis yang sangat bergairah untuk menetapkan “teknik baku induksi” yang bisa berlaku umum bagi setiap orang. Kecenderungan Hull ini membawanya pada pandangan bahwa dalam hipnosis yang lebih penting adalah apa yang diucapkan dan dilakukan oleh operator terhadap subjek hipnotik. Dengan demikian penggunaan kata-kata yang sama, waktu yang sama, nada suara yang sama, dan sebagainya itulah yang akhirnya berfungsi untuk membangkitkan keadaan trance.
Tentu saja pandangan ini mengabaikan kenyataan tentang perbedaan individual pada masing-masing subjek dan minat mereka, perbedaan motivasi, dan perbedaan kapasitas orang untuk belajar. Sementara Erickson menganggap bahwa yang jauh lebih penting adalah perilaku internal subjek. Sekalipun demikian, ia mengakui juga bahwa prosedur baku bisa diterapkan juga dalam studi tentang sejumlah fenomena hipnotik.
Dalam periode ini, dalam usianya di awal-awal 20-an, ketika perdebatan tentang apakah hipnotis atau subjek yang lebih penting tidak menemukan titik temu, Erickson mulai bersemangat melakukan berbagai eksperimen. Hanya saja, menurut pengakuannya kemudian, hampir semua hasil eksperimennya pada waktu itu tidak ia siarkan semata-mata karena kesimpulannya bertentangan dengan keyakinan kuat Hull.
Sekarang, ketika akhirnya disepakati bahwa setiap hipnosis adalah self-hypnosis (otohipnosis), maka pandangan Hull tampaknya harus menyingkir, meskipun pendekatan otoritatif yang menunjukkan kecenderungan bahwa hipnotis lebih “berkuasa” masih banyak bisa kita jumpai baik di panggung maupun di ruang terapi. Tetap diproduksinya rekaman skrip yang dianggap absurd oleh Erickson juga menunjukkan sisa-sisa keyakinan di kalangan hipnotis bahwa hipnotis lebih penting ketimbang subjek.
Tidak bisa dipungkiri bahwa bagi sejumlah orang teknik baku tampaknya tetap dibutuhkan. Setidaknya setiap pembelajar awal biasanya membutuhkan resep standar, tak beda dengan anda belajar memasak. Tetapi, anda tahu, dengan satu resep masakan yang sama, setiap orang toh tidak akan menyajikan hasil yang berbeda-beda. Dan koki yang cakap akan selalu menghasilkan masakan yang lebih enak, bukan?
Tentu saja Milton Erickson menyampaikan “resep” juga, atau semacam panduan praktis, tentang bagaimana kita melakukan induksi. Namun panduan Erickson tidak pernah dalam bentuk baku yang disertai contoh-contoh skrip sebagaimana bisa kita jumpai dalam pendekatan otoritarian yang dijalankan dengan sugesti-sugesti langsung. Resep induksi Erickson sesungguhnya adalah sejumlah prinsip tentang bagaimana anda bisa melumpuhkan pikiran sadar subjek agar ia tidak melakukan campur tangan ketika proses pembelajaran berlangsung di tingkat bawah sadar. Dan sesungguhnya inilah prinsip utama dalam setiap pekerjaan hipnosis, yakni ketika pesan yang dikomunikasikan bisa langsung diterima dan direspons oleh bawah sadar tanpa kendali kesadaran.
Di sini anda akan melihat, di satu sisi, seluruh pola sugesti Erickson dan pola bahasa yang ia gunakan kepada subjek, yang dalam khazanah NLP (Neuro Linguistic Progamming) dirumuskan sebagai Milton Model, tidak lain adalah upaya untuk membuat pikiran sadar sibuk, kelelahan, frustrasi, dan akhirnya tidur lelap. Tetapi, di sisi lain, pola bahasa Erickson adalah perangkat bagi kita untuk berkomunikasi di dua level kesadaran.
Maka sambil membuat sibuk pikiran sadar, pada saat yang sama ia juga menjangkau dan mengaktifkan pikiran bawah sadar untuk terus-menerus melakukan pencarian serta merangsangnya memunculkan perilaku internal. Dengan karakter komunikasi yang semacam itu, kita akan menjadi lebih mudah memahami kenapa seringkali Milton Erickson bahkan tidak perlu membawa pasiennya memasuki trance untuk mencapai tujuan terapetik dalam pekerjaan-pekerjaan hipnotiknya.***
0 comments: