| A.S. Laksana | Gregory Bateson dan Margareth Mead, suami istri yang sama-sama antropolog dari AS, pernah membuat penelitian di Bali pada 1...

Mereka Trance dan Mengamuk

5:08 AM A.S. Laksana 0 Comments

| A.S. Laksana |

Gregory Bateson dan Margareth Mead, suami istri yang sama-sama antropolog dari AS, pernah membuat penelitian di Bali pada 1930-an dan mereka menarik kesimpulan bahwa orang-orang Bali menjalani kesehariannya dalam keadaan trance. Itu karena seluruh tindakan sehari-hari mereka difokuskan demi melayani Sang Hyang Widi.

Delapan puluh tahun kemudian, saya kira situasi trance itu sudah meluas. Tidak hanya di Bali orang-orang menjalani keseharian dalam keadaan trance. Kini hampir semua orang Indonesia menjalani keseharian dalam keadaan trance. Saya ingin membahas situasi ini dari sudut pandang lain, berdasarkan pengetahuan yang saya dalami bertahun-tahun belakangan, yakni hipnosis.

Berkali-kali kita mendengar orang secara serampangan mengatakan, “Mereka dihipnotis” untuk menjelaskan bagaimana orang sanggup menjadi bagian dari gerakan terorisme. Baiklah, saya sepakat bahwa mereka dihipnotis. Namun, oleh siapa?

Mari kita bicarakan lebih jernih. Orang-orang yang mengamuk itu, yang kita dengar berita kejadiannya di berbagai tempat, adalah orang-orang yang berada dalam situasi di puncak kebingungan. Ini situasi yang mudah sekali membawa orang memasuki trance dan melakukan tindakan-tindakan di luar kesadaran.

Anda tahu, salah satu teknik paling manjur untuk membawa orang ke kondisi trance, yang dalam pertunjukan panggung anda lihat sebagai kondisi tidur, adalah membuat orang itu kebingungan. Mula-mula anda menyodorkan satu pernyataan, lalu anda susul dengan pernyataan berikutnya yang bertentangan. Pada saat itu subjek (sebutan untuk orang yang dihipnotis) akan menyadari bahwa anda melakukan kekeliruan, tetapi ia akan memaklumi bahwa mungkin anda sedikit selip.

Masalahnya, saat subjek memaklumi anda, dan menganggap itu hanya kekeliruan kecil yang tidak disengaja, anda menyusulkan pernyataan-pernyataan berikutnya yang terus bertentangan dan semakin membingungkan. Terkondisi oleh respons awalnya yang kooperatif terhadap kekeliruan anda, subjek mencoba mengabaikan sedikit kebingungannya itu. Sampai akhirnya ia akan mendapati dirinya terperangkap dalam berbagai kemungkinan respons yang saling bertentangan. Dan ia sudah tidak bisa apa-apa lagi.

“Pada saat berada di puncak kebingungan itulah maka sugesti positif apa pun akan diterima oleh subjek sebagai jalan keluar yang melegakan dan sekaligus membebaskan dirinya dari situasi yang membingungkan,” kata Milton Erickson, seorang hipnotis jenius dari AS dan pelopor hipnosis modern. “Itu adalah momen di mana ia menemukan sesuatu yang bisa dipegang dan direspons secara cepat dan memberinya perasaan tenteram.”

Yah, saya tidak bicara hipnosis yang diperagakan Uya Kuya, sebab itu bukan hipnosis melainkan sandiwara belaka. Orang-orang yang anda lihat tidur dan ngoceh dalam pertunjukan si Kuya adalah aktor yang memang diminta untuk berakting seperti itu. Ini kesimpulan saya. Dalam salah satu pertunjukannya, orang yang berakting sedang trance itu pernah ada yang bertanya, “Apa?” ketika omongan Kuya tidak tertangkap jelas olehnya.

Anda tahu, bertanya bukanlah karakter orang trance. Jika anda trance, anda hanya akan mengerjakan sugesti yang bisa anda jalankan. Ketika sugesti itu tidak tertangkap jelas, artinya tidak bisa dijalankan, anda hanya akan diam, bukan bertanya. Dalam kondisi itu, anda hanya menunggu datangnya perintah lain yang lebih jelas.

Begitulah, dengan efektivitasnya untuk melumpuhkan pikiran sadar, teknik membikin bingung selalu bisa diandalkan oleh hipnotis untuk membawa subjeknya memasuki kondisi trance. Orang akan mudah disuruh tidur ketika pikiran sadarnya sudah kewalahan dan kebingungannya tak tertangani lagi. Trance adalah situasi yang melegakan, yang membuat subjek terbebas dari situasi puncak kebingungan. Selanjutnya ia akan merespons sugesti dengan pikiran bawah sadar. Dan bawah sadar bisa menjalankan sugesti apa pun, memunculkan pelbagai fenomena yang musykil dilakukan oleh pikiran sadar.

Analogi itu tampaknya bisa menjelaskan kenapa orang bisa menjadi beringas dan bertindak di luar nalar. Atas nama apa pun. Bisa atas nama agama, bisa atas nama partai, bisa pula atas nama uang. Banyak orang hari ini dalam keadaan di puncak kebingungan. Kita diserbu oleh segala informasi yang membingungkan dan pelbagai hal yang tidak bisa kita jadikan pegangan.

Kita seperti subjek hipnotik yang sengaja diombang-ambingkan tanpa pernah ada penyelesaian. Apa yang bisa dijadikan pegangan hari ini? Pidato pemerintah? Tidak. Janji-janji pemerintah? Tidak juga. Statistik tentang keberhasilan pemerintah? Oh, yang menikmati keberhasilan statistik itu hanya pemerintah sendiri dan beberapa gelintir orang. Bagian terbesar masyarakat kita hidup seperti reptil—merambat dan melata—mencaplok apa yang ditemukan di jalanan. Pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu? Ini juga makin terasa sebagai kebohongan.

Maka, apa yang harus dikerjakan untuk menenteramkan pikiran? Apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi situasi yang membingungkan ini?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu biasa muncul di benak orang-orang yang menjadi subjek hipnosis. Mereka menunggu sebuah instruksi yang bisa mereka kerjakan. Dan instruksi untuk tidur, di saat orang sedang di puncak kebingungan adalah instruksi yang melegakan. Jadi, tidurlah dan lakukan semuanya begitu saja.

Perbedaannya, dalam hipnosis panggung, anda dibikin tidur dan disodori instruksi untuk melakukan tindakan musykil yang dimaksudkan untuk menghibur penonton. Dalam hipnoterapi anda dibawa memasuki trance dan diberi sugesti yang memudahkan anda menemukan sumberdaya terbaik yang anda miliki.

Milton Erickson meyakini bahwa setiap orang menyimpan segala sumberdaya yang dibutuhkan untuk menyingkirkan perilaku simptomatiknya. Sumberdaya semacam inilah yang diperkuat sehingga di masa-masa mendatang, anda bisa menghadapi situasi sulit dengan cara yang lebih sehat dan lebih produktif, bukan dengan perilaku simptomatik yang merugikan diri sendiri seperti yang selama ini dilakukan.

Yang terjadi dengan hipnosis massal terhadap warga negeri ini tidaklah demikian. Kita disodori tindakan-tindakan musykil yang jauh dari unsur menghibur dan sama sekali tidak membikin kita lebih sehat. Kita disodori tindakan tak sadar yang brutal dan menyebabkan orang kehilangan nyawa. Kita disodori perilaku antisosial, sebuah tindakan tanpa empati, dan itu adalah gangguan perilaku yang mengerikan.

Anda tahu, orang yang paling mudah terseret menjadi anggota kelompok-kelompok ajaib adalah orang-orang yang berada di puncak kebingungan. Mereka mencari kepastian atau apa pun yang bisa dijadikan pegangan. Dan kelak mereka akan melakukan hal-hal yang menurut anda tidak masuk akal. Tentu saja ketika mereka sudah meyakini bahwa tindakan beringas itu harus dilakukan untuk memerangi apa yang layak diperangi.

Dengan analogi semacam itu, saya hendak mengatakan bahwa pemerintah dan para elite politik kita tidak ubahnya adalah seorang hipnotis yang tidak bertanggung jawab. Mereka menjadi hipnotis terjahat karena yang mereka lakukan hanya membuat subjek kebingungan dan lantas meninggalkannya begitu saja. Mereka melumpuhkan pikiran sadar warga negara dan membiarkan mereka menemukan sendiri apa yang bisa membebaskan mereka dari situasi kacau yang membikin mereka kelelahan. Pendeknya, mereka membawa kita ke puncak kebingungan dan kemudian berlepas tangan.

Dan, anda tahu, dalam situasi ketika pikiran sadar nyaris lumpuh, orang hanya menunggu instruksi. Orang tidak lagi kritis dan menanyakan, “Apa?” seperti dalam sandiwara si Kuya. Hasilnya, anda bisa dibayar untuk mencoblos tanda gambar tertentu dalam pemilu. Anda bisa digerakkan untuk menyerang satu kelompok lain. Anda bisa didorong untuk meledakkan diri sendiri. Anda bisa diberi perintah untuk apa saja dengan alasan-alasan yang tampak remeh, atau bahkan tidak waras, di mata orang lain.

Maka, memang benar bahwa mereka dihipnotis. Dan anda sekarang tahu siapa yang sesungguhnya telah memberi peluang kepada mereka untuk menjadi sebrutal itu.***

------

*) Tulisan ini dimuat pertama kali sebagai kolom di Jawa Pos hari Minggu

0 comments: