Double Bind dalam Strategi Terapi Erickson
| A.S. Laksana |Sepasang suami-istri membawa anak lelaki mereka yang berusia 12 tahun menemui Erickson. Tentang si anak, mereka menceritakan, “Ia ngompol tiap malam sejak bayi. Kami telah membenamkan mukanya di ompolnya itu, kami telah memerintahkannya mencuci seprai; kami telah mencambuknya; kami sudah tidak memberinya makan dan minum; kami telah memberinya segala jenis hukuman dan ia masih saja ngompol.”
Kepada suami istri itu Erickson mengatakan, “Sekarang ia pasienku. Aku tidak ingin kalian mencampuri terapi yang kulakukan kepada anak kalian. Silakan kalian pulang, dan biarkan aku membuat perencanaan dengan anak kalian. Kalian tak perlu bicara apa-apa lagi dan, yang terpenting, hargailah pasienku.”
Ketika mereka datang menemui Erickson, mereka sudah putus asa akan kondisi anak mereka. Karena itu mereka menyepakati apa saja. Termasuk ketika disuruh pulang dan tidak perlu ikut campur. Kepada si anak Erickson menceritakan bagaimana cara ia memerintah orangtuanya dan si anak merasa sangat senang mendengar hal itu.
“Kau tahu, Joe,” kata Erickson kemudian, “ayahmu 190 cm, ia besar dan kuat. Kau baru berumur 12 tahun. Berapa berat badan ayahmu? Seratus kilo, dan ia tidak bergelambir. Berapa berat badanmu? Tujuh puluh lima kilo”
Anak itu tidak segera paham apa maksud ucapan Erickson. “Menurutmu,” lanjut Erickson, “sulitkah membentuk tubuh yang tegap dan kuat bagi anak umur 12 tahun? Pikirkan otot-otot yang kaumiliki, Joe. Pikirkan tinggi badanmu, tenaga yang kaumiliki. Kau telah mengerahkan banyak energi untuk membangun tubuhmu dalam usia yang baru 12 tahun. Bagaimana menurutmu jika kau sudah setua ayahmu? Menjadi lelaki bungkuk dengan tinggi 190 cm dan berat badan hanya 100 kilo, atau kaupikir kau akan lebih tinggi dibanding ayahmu dan lebih berat?”
Pertanyaan itu membalikkan pikiran Joe. Ia membayangkan dirinya sendiri sebagai lelaki dewasa. Kemudian Erickson melanjutkan, “Tentang ngompolmu, kau sudah lama memiliki kebiasaan itu dan sekarang hari Senin. Apakah kaupikir kau bisa berhenti membasahi kasurmu, membiarkan kasurmu tetap kering sampai besok malam? Kupikir tidak, dan kaupikir juga tidak. Dan tak seorang pun akan berpikir begitu. Apakah kaupikir kau akan membiarkan kasurmu tetap kering di hari Rabu? Aku tidak yakin. Kau tidak yakin. Tidak seorang pun yakin....
“Sesungguhnya, aku tidak yakin kau akan membuat kasurmu tetap kering minggu ini. Kenapa kau harus melakukannya? Kau sudah memiliki kebiasaan itu sepanjang hidupmu, dan aku sekadar tidak yakin kau akan membuat kasurmu kering minggu ini. Aku menduga kasurmu akan basah setiap hari dalam minggu ini dan kau menduga demikian juga.
“Yah, kita saling bersepakat. Namun aku tetap menduga kasurmu akan basah juga pada hari Senin mendatang. Namun, kau tahu, Joe, ada satu hal yang benar-benar menjadi teka-teki bagiku dan itu sungguh teka-teki bagiku--apakah kau akan membiarkan kasurmu tetap kering tanpa kau sengaja pada hari Rabu atau itu akan terjadi di hari Kamis, dan kau harus menunggunya sampai hari Jumat untuk mengetahui hal itu?”
Joe mulai memusatkan perhatian. Erickson menawarkan ide-ide baru yang tak terpikirkan olehnya sebelum ini tentang kebiasaan ngompolnya, dan itu membuatnya memasuki trance secara natural. Ia tidak lagi melihat dinding, karpet, atau langit-langit atau lampu meja atau apa saja yang lain.
Anak itu tidak menyadari bahwa Erickson sedang menempatkan dirinya ke dalam situasi double bind—situasi seolah-olah ada pilihan tetapi sesungguhnya hanya ada satu hasil akhir. Erickson tidak menyodorkan pertanyaan apakah anak itu akan berhenti ngompol atau tidak. Pertanyaannya adalah “pada malam yang mana?“ Itu membuat si anak terus berpikir untuk menemukan pada malam yang mana ia akan mendapati kasurnya tetap kering.
Lanjut Erickson, “Datanglah pada Jumat sore dan ceritakan padaku apakah itu di hari Rabu atau Kamis, karena aku tidak tahu; kau tidak tahu. Pikiran bawah sadarmu tidak tahu. Bagian belakang pikiranmu tidak tahu, bagian depan pikiranmu tidak tahu. Tidak seorang pun tahu. Kita harus menunggu sampai Jumat sore.”
Maka “mereka” menunggu sampai Jumat sore, dan Joe datang dengan riang.
“Dokter, kau salah,” katanya, “bukan hari Rabu atau Kamis. Tapi itu terjadi baik pada hari Rabu maupun Kamis.”
“Hmm, hanya dua kali berturut-turut kasurmu kering, dan itu tidak berarti bahwa kau akan seterusnya mendapati kasurmu kering,” jawab Erickson. “Minggu depan kita memasuki pertengahan Januari, dan pasti di separuh akhir Januari kau tidak bisa mendapati kasurmu tetap kering. Dan Februari adalah bulan yang pendek. (Apa pun alasannya, Februari adalah bulan pendek.)
“Aku tidak tahu apakah kasurmu akan seterusnya kering dimulai pada 17 Maret, yang bertepatan dengan Hari St. Patrick, atau itu akan dimulai pada hari April Mop. Aku tidak tahu. Kau juga tidak tahu, tetapi ada satu hal yang aku ingin kau tahu, bahwa bukan urusanku kapan itu terjadi. Itu sama sekali tidak akan pernah menjadi urusanku, sama sekali bukan urusanku.”
Dengan menekankan bahwa itu bukan urusannya, sesungguhnya Erickson sedang menyodorkan sugesti pasca-hipnotik yang akan mengikuti Joe sepanjang hidupnya, bahwa itu adalah urusan Joe sendiri dan bukan orang lain, siapa pun itu. Dan ini adalah sebuah double bind karena Joe seolah-olah sedang diberi kebebasan untuk memilih apa pun, tetapi sesungguhnya hanya ada satu pilihan.
Selanjutnya Erickson membawa anak itu ke masa depan yang jauh. Tentang hal ini, Erickson menjelaskan, “Anda selalu bisa menggunakan double bind dan triple bind sebagai bagian dari strategi psikoterapi. Anda menyodorkan ide-ide baru dan pemahaman baru dan kemudian anda menghubungkan itu semua dengan masa depan yang jauh, dalam cara yang tak terbantahkan.”
Dan itulah strategi Erickson. Ia menyodorkan ide-ide terapetik dan sugesti pasca-hipnotik dalam cara yang membuat semua gagasan itu berdiri sejajar dengan sesuatu yang akan terjadi nanti. Joe akan menjadi lebih dewasa dan lebih tinggi nanti. Ia akan masuk SMA dan perguruan tinggi. Dalam hal ini, Erickson tidak menyebut SMA. Ia langsung menyebut perguruan tinggi, sebuah masa depan yang sangat jauh. Selain itu, ia juga membicarakan gagasan-gagasan tentang menjadi pemain bola. “Aku tidak ingin ia berpikir tentang kasur yang basah,” katanya. “Aku ingin ia memikirkan masa depan yang jauh dan hal-hal yang ia bisa lakukan ketimbang terus memikirkan ‘apa yang akan saya lakukan nanti malam?’—hanya membasahi kasur.”
0 comments: