| A.S. Laksana | Orang bisa menolak sugesti, perintah, instruksi, petuah, atau nasihat, tetapi orang tidak bisa menolak cerita. Dengan panda...

Metafora Terapetik, Inovasi Erickson dalam Hipnoterapi

7:22 AM A.S. Laksana 2 Comments

| A.S. Laksana |

Orang bisa menolak sugesti, perintah, instruksi, petuah, atau nasihat, tetapi orang tidak bisa menolak cerita. Dengan pandangan seperti itulah Milton Erickson memelopori pemanfaatan cerita sebagai salah satu perangkat terapi. Dan itu merupakan salah satu inovasi penting yang dibawa oleh sang hipnotis ke dunia psikoterapi.

Sebelum lebih jauh membicarakan cerita atau metafora terapetik ini, saya ingin bercerita sedikit tentang seorang anak muda dalam mitologi Yunani. Pemuda itu bernama Talus. Ia mengembara dari satu tempat ke tempat lain untuk menjumpai orang-orang yang menderita akibat perang dan penyakit. Ia menuturkan cerita kepada mereka dan menjadikan mereka bisa mengatasi penderitaan. (Saya menjumpai kembali tokoh ini muncul dalam salah satu episode film Xena yang berkisah tentang upaya Raja Sisifus untuk menculik Dewi Kematian sehingga kehidupan manusia bisa abadi.)

Talus terdorong untuk mengembara dan menuturkan cerita, dan meyakini bahwa cerita memiliki daya untuk meringankan penderitaan, karena ia memiliki pengalaman pribadi dengan kekuatan cerita. “Cerita-cerita yang baik telah membantuku mengatasi kesulitan-kesulitanku,” katanya.

Karena itulah ia memutuskan untuk mengembara dan menuturkan cerita-cerita demi membantu orang lain mengatasi kesulitan mereka. Dan karena ia meyakini kekuatan cerita, setiap kali menemui orang yang membutuhkan pertolongan, ia hanya duduk menemani orang itu dan mendongengkan cerita. Hanya bercerita, tanpa menyampaikan apa kandungan moral yang terdapat dalam cerita itu.

Dalam khazanah negeri kita, kita mengenal teknik serupa, yakni pemanfaatan cerita untuk tujuan tertentu. Di masa lalu, dalang menggunakan cerita wayang untuk menyampaikan pembelajaran kepada masyarakat luas. Demikian pula Sunan Kalijaga memodifikasi cerita wayang untuk berdakwah.

Milton Erickson sang Pencerita

Kendati sudah lama cerita menjadi bagian dari pengalaman manusia untuk menyampaikan pengetahuan atau mengatasi simptom, namun baru pada paruh awal abad ke-20 ada pendekatan yang lebih sistematis untuk menjadikan cerita sebagai perangkat terapetik, dengan Erickson sebagai pelopornya.

Apa yang dilakukan Erickson persis dengan apa yang dilakukan oleh Talus. Melalui cerita-cerita yang ia tuturkan, Erickson memberikan pembelajaran kepada seseorang tentang bagaimana menangani situasi. Tanpa disadari oleh pasien-pasiennya, ia menyampaikan cerita yang sejajar dengan situasi yang mereka hadapi. Dalam cara demikian, pasien mendapatkan sebuah sesi terapetik yang nyaman, dan ia tidak merasa sedang didikte untuk melakukan sesuatu. Ia hanya mendengar, mengalami situasi yang terjadi pada orang lain, dan di sana ia bisa memetik pelajaran atau manfaat yang bisa ia gunakan untuk mengatasi masalahnya sendiri.

Pada masa-masa awal menggunakan pendekatan ini, Erickson banyak menggunakan cerita rekaan untuk memberikan pelatihan kepada pasiennya, katakanlah semacam simulasi. Dengan cerita-cerita rekaannya, ia akan menempatkan pasien pada situasi sulit, yang menghadapkan pasien tersebut pada masalah (rekaan) tertentu yang harus diselesaikan, dan secara tersirat ia akan memberikan pelajaran tentang bagaimana cara menghadapi situasi semacam itu. Atau secara pintar ia akan mengoreksi situasi tersebut dan melemahkan efeknya pada pasien.

Kenapa cerita bisa menjadi perangkat terapi yang efektif?

“Orang bisa menolak sugesti langsung karena sugesti langsung memiliki karakter menantang reaksi pikiran sadar, tetapi orang tidak bisa menolak cerita. Orang hanya bisa menerima cerita yang disampaikan kepadanya, dan pada saat yang sama ia menerima semua pesan tersirat yang menyentuh bawah sadarnya,” kata Erickson.

Karena cerita menyampaikan pelajaran secara tidak langsung, maka ia tidak memancing reaksi pikiran sadar. Cerita tidak mengundang pikiran sadar untuk campur tangan, tidak memancing penolakan sadar, tidak memancing respons kritis pikiran sadar. Dengan demikian setiap sugesti akan diterima dalam cara yang nyaman oleh pasien tanpa ia merasa terdikte untuk menjalankan sugesti apa pun yang disampaikan. Cerita adalah sugesti yang sangat licin. Ia tidak bisa dijangkau oleh pikiran sadar dan hanya bisa diterima oleh bawah sadar.

Bagi Erickson, cerita juga menjadi salah satu alat untuk berkomunikasi dengan pasiennya di dua level kesadaran. Di level pikiran sadar, cerita adalah sesuatu yang menarik untuk didengar. Di level bawah sadar, cerita itu adalah sugesti agar orang memberi respons tertentu demi mendapatkan manfaat terapetik darinya.

Dalam cara yang piawai, ia sering menggunakan cerita untuk membuat pendengarnya mau bekerja sama, ia menggunakan cerita untuk membuat pasiennya lebih rileks, ia menggunakan cerita untuk menumbuhkan motivasi atau harapan akan kesembuhan kepada pasien-pasiennya.

Bahkan sebelum sesi hipnosis dimulai ia sudah akan menceritakan banyak hal. Dengan cara demikian ia menggunakan cerita secara optimum untuk memancing respons, untuk membuat kaitan asosiatif, untuk merangsang pasiennya melakukan pencarian bawah sadar, dan dengan cara itulah cerita berfungsi sebagai sarana intervensi untuk menyingkirkan simptom tertentu atau untuk mengoreksi perilaku negatif atau cara pandang terbatas dan sebagainya.

2 comments:

  1. thanks... good artikel :)

    ReplyDelete
  2. Their own acquired on your weblog even though deciding acknowledgement just a few tid little bit submits. Satisfying technique for future, I'll be book-marking before beginning get items summary spgs completely upward. hipnoterapi jogja

    ReplyDelete